Simbol Tempat Wisata Kudus
1. Masjid Menara Kudus
Gambar tersebut bukanlah Candi tetapi Masjid Menara Kudus pada tahun 1549 Masehi. Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu.
2. Pegunungan Muria
Secara admistratif Pegunungan Muria masuk ke wilayah Kabupaten Kudus.
3. Gedung-Gedung
Kudus mengalami kemajuan terbukti dengan adanya gedung-gedung bertingkat di Kabupaten Kudus wilayah Kudus Kota.
4. Paduraksa Kudus
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, masjid, pura, meskipun pada masa sekarang ada pula rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini.
5. Candi Bentar Kudus
Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit.
Pada aturan zona tata letak istana atau bangunan penting, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
6. Rumah Adat Kudus
Rumah adat Kudus atau Joglo Pencu disebut juga Joglo Kudus adalah Rumah tradisional asal Kudus, salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus.
Rumah Adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut “Atap Pencu”, dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4D) khas kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina (Tionghoa) dan Eropa (Belanda). Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi
Tata Ruangan
Joglo Pencu memiliki 4 (empat) tiang penyangga dan 1 (satu) tiang besar yang dinamakan soko geder yang melambangkan bahwa Allah SWT bersifat Esa. rumah adat Kudus Joglo Pencu memiliki 3 bagian[3] ruangan yang disebut Jogo Satru, Gedongan, dan Pawon.
Jogo Satru adalah nama untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara makna kata Jogo Satru bisa diterjemahkan jogo artinya menjaga dan Satru artinya musuh. Namun untuk sehari-hari Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.
Gedongan adalah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga.
Pawon Untuk Pawon sendiri letaknya berada pada bagian samping. biasa digunakan untuk masak, belajar dan melihat televisi. “Untuk halaman depan rumah, terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan Pakiwan
Filosofi
Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Kudus (Joglo Kudus) tidak hanya terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir sederhana, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.
Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-laba berkaki banyak), gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
Kedua, tata ruang rumah adat yang memiliki jogo satru/ruang tamu dengan soko geder-nya/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT bersifat Esa/Tunggal.
Ketiga, gedhongan dan senthong/ruang keluarga yang ditopang empat buah soko guru/tiang penyangga. Keempat tiang tersebut adalah simbol yang memberi petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-hari dg mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutmainnah.
Keempat, pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah.
Kelima, pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu membersihkan diri baik fisik maupun rohani.
Keenam, tanaman di sekeliling pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang melambangkan lima rukun Islam; pandan wangi, sebagai simbol rejeki yang harum/halal dan baik bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku yang baik dan budi pekerti luhur, serta kesucian, bersambung ke hal berikutnya.
Simbol Tempat Wisata Jepara
1. Masjid Agung Jepara
Gambar
tersebut bukanlah Pagoda tetapi Masjid Agung Jepara pada tahun 1660
Masehi. Masjid Agung Jepara ini terletak di Kelurahan Kauman Kecamatan
Jepara Kabupaten Jepara.Secara admistratif Pegunungan Muria masuk ke wilayah Kabupaten Jepara.
Jepara mengalami kemajuan terbukti dengan adanya gedung-gedung bertingkat di Kabupaten Jepara wilayah Jepara Kota.
4. Paduraksa Mantingan Jepara
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, masjid, pura, meskipun pada masa sekarang ada pula rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini.
5. Candi Bentar Jepara
Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit.
Pada aturan zona tata letak istana atau bangunan penting, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
6. Rumah Adat Jepara
Rumah adat Jepara atau disebut juga Joglo Jepara adalah Rumah tradisional asal Jepara salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Jepara.
Rumah Adat Jepara memiliki atap genteng yang disebut “Atap Wuwungan”, dengan bangunan yang didominasi seni ukir empat dimensi (4D) khas kabupaten Jepara yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Hindu-Jawa, Islam-Arab, Tionghoa-Cina dan Eropa-Portugis. Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 600-an Masehi (era Kerajaan Kalingga).
Tata Ruangan
Bahan bangunan Rumah adat Jepara terbuat dari kayu dengan dinding kayu berukir, Memiliki 4 buah tiang di tengah bangunan. menurut pembagian ruangnya adalah sebagai berikut:
Ruang Peringgitan ruang ini dulu untuk menerima/ menjamu tamu terbatas, sampai saat inipun tempat ini masih dipergunakan untuk dhahar prasmanan dan menerima tamu. Namanya rono kaputren (yang ukirannya tembus) atau berlubang dan yang blok ukir namanya rono kaputran.
Ruang keluarga tempat/ruangan ini dulu dipergunakan untuk berkumpulnya keluarga.
Ruang pingitan pengertian dipingit tidak di ruangan ini terus, boleh keluar tapi dengan batasan depan ada rono (ukiran yang tembus/berlubang) dan belakang ada tembok yang tinggi, dan pengertian dipingit adalah menunggu lamaran dari pria yang tidak dikenalnya.
Pawon biasa digunakan untuk masak, belajar dan melihat televisi.
Pakiwan Untuk halaman depan rumah, terdapat sumur pada sebelah kiri yang dinamakan Pakiwan, yang juga berfungsi untuk kamar mandi.
Filosofi
Keunikan dan keistimewaan Rumah Adat Jepara (Joglo Jepara) tidak hanya terletak pada keindahan arsitekturnya yang didominasi dengan seni ukir kualitas tinggi, dan Atap dari genting dan khusus kerpus memiliki motif gambar wayang. tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda. Adapun konsep falsafah dari bangunan joglo ini adalah:
Menghadap ke laut dengan maksud agar berpikiran luas.
Membelakangi gunung dengan maksud agar tidak congkak dan tinggi hati.
Atap berujud pegunungan dengan maksud religius yaitu Tuhan di atas dan berkuasa atas segalanya.
Tiga wuwungan atap tidak patah tetapi melengkung yang mempunyai maksud sebagai perwujudan cara hidup yang luwes.
Tiga buah pintu di depan merupakan perwujudan hubungan antara : Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan manusia, Manusia dengan alam.
Simbol Tempat Wisata Pati
Masjid Agung Baitunnur Pati dibangun pertama kali
oleh Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro (nama asli beliau adalah Raden
Bagus Mita). Beliau memegang kekuasaan antara tahun 1829-1895 M.
Pembangunan Masjid Baitunnur ini dimulai pada tahun 1261 H atau 1845 M.
Tahun pembangunan ini ditunjukkan oleh prasasti berbentuk kaligrafi
milik Masjid Agung Baitunnur Pati yang sekarang berada di Masjid
Gambiran. Kaligrafi tersebut berbunyi: “ibtidaa’u binaa’i hadza al-masjid fii sanah 1261 H / 1845 M”. (artinya: Awal Pembangunan Masjid ini adalah pada Tahun 1261 Hijriyah bertepatan dengan Tahun 1845 Masehi)
Dahulu Atap Masjid berundak seperti Masjid Agung
Demak dan masjid-masjid kuno di Jawa Tengah yang dibangun oleh para
wali. Masjid tidak memiliki kubah, tetapi seperti cungkup berundak khas
yang terdapat di rumah-rumah jawa kuno.
Kemudian pada tahun 1289 H / 1969 M masjid Agung
Baitunnur Pati direnovasi. Tahun renovasi ini bisa dilihat pula pada
Tulisan Arab di sebelah kiri Prasasti Kaligrafi yang sama.
Tulisan Arab pada prasasti tersebut berbunyi: “tajdiid wa tausii’u hadza al-masjid fii sanah 1389 H / 1969 M”. (artinya: renovasi dan perluasan Masjid ini adalah pada Tahun 1389 Hijriyah yang bertepatan dengan Tahun 1969 Masehi)
Hal tersebut berarti bahwa selama 124 tahun sejak
dibangun petama kali pada tahun 1261 H/1845 M masjid Agung pati
mengalami renovasi dan perluasan pada tahun 1389 H/1969 M. Pada tahun
tersebut yang menjadi Bupati Pati adalah A.K.B.P. Raden Soehargo
Djojolukito (Menjadi Bupati Pati dari Tahun 1967-1973 M).
Bahwa desain bangunan berubah, dan atap masjid
yang sebelumnya tanpa kubah kemudian memiliki kubah di atasnya. Atap
berundak masjid masih dipertahankan. Menara depan masjid yang sebelum
renovasi berdiri gagah sudah tidak tampak lagi.
Pada tahun 1979 masjid Agung Baitunnur Pati
direnovasi untuk kedua kalinya di akhir Jabatan Bupati Kol. Pol. Drs.
Edy Rustam Santiko (menjabat Bupati dari Tahun 1973-1979 M). Pembangunan
Selesai pada tahun 1980 M yang pada saat itu Bupati Pati dijabat Kol.
Inf. Panoedjoe Hidayat. Desain masjid pada renovasi kedua ini dilakukan
oleh Nu’man dari ITB Bandung. Desain Masjid Agung Baitunnur Pati berubah
total dari desain sebelumnya.
Masjid Agung Baitunnur Pati setelah direnovasi pada tahun 1979-1980 M.
Desain Masjid
Agung Pati yang sebelumnya berundak dan berkubah, setelah direnovasi
pada 1979 M, atap Masjid tidak lagi berundak dan juga tidak lagi
berkubah. Desain bangunan Masjid tersebut terkesan desain minimalis dan
bertahan sampai sekarang ini.
Masjid Agung Baitunnur Pati juga memiliki mimbar
unik dan kuno yang berumur sekitar 160 tahun. Mimbar ini adalah hadiyah
atau pemberian Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro 9 tahun setelah
pembangunan Masjid. Di dalam mimbar tersebut terdapat prasasti
bertuliskan huruf Arab Pegon.
Bunyi teks pada Prasasti tersebut adalah: “yasa
dalem kanjeng raden hadipati harya tjandra adhinegara ing mimbar masjid
negari pati punika (wulan) jumadal awwal (tahun) dal (tahun) alfun wa
mi´ataini wa sab’una (1270 H) utawi (wulan) januari tahun 1854 M”
(artinya: karya/pemberian Kanjeng Raden Adipati
Aryo Condro Adhinegoro berupa mimbar Masjid Negara Pati pada Bulan
Jumadil Awwal tahun Dal tahun seribu duaratus tujuh puluh hijriyah (1270
H) bertepatan dengan Bulan Januari tahun 1854 M).
2. Pegunungan Muria
Secara admistratif Pegunungan Muria masuk ke wilayah Kabupaten Pati.
3. Gedung-Gedung
Pati mengalami kemajuan terbukti dengan adanya gedung-gedung bertingkat di Kabupaten Pati wilayah Pati daerah Kota.
4. Paduraksa Pati
Paduraksa ini merupakan desain paduraksa khas Pati karena Paduraksa ini terletak di Masjid Agung Pati pada tempo dulu
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus. Bangunan ini biasa dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali, seperti kompleks keraton, makam keramat, masjid, pura, meskipun pada masa sekarang ada pula rumah yang juga menggunakan gapura semacam ini.
5. Candi Bentar Pati
Candi Bentar ini merupakan desain candi bentar khas Pati terbukti dengan adanya candi bentar ini terletak di Makam Syekh Jangkung (Saridin)
Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit.
Pada aturan zona tata letak istana atau bangunan penting, baik candi bentar maupun paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
6. Rumah Adat Pati
Rumah adat Pati atau Joglo Pati adalah Rumah tradisional asal Kabupaten Pati, salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Pati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar